Oleh: Rifa’i Kurdi
Ketua BMT Bungo Mandiri
Matahari telah terbit di ufuk timur, orang-orang keluar dari masjid setelah menunaikan salat Subuh. Para petani dengan membawa sabit dan cangkul pergi ke ladang padi, para nelayan dengan membawa perbekalan pergi ke melaut, dan para pedagang membuka tokonya masing-masing untuk mencari karunia Tuhannya.
Itulah kehidupan sehari-hari di Desa Bungo, suatu desa di mana penulis dilahirkan dan dibesarkan.
Sejarah Desa Bungo
Desa Bungo adalah suatu desa di Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak.
Desa Bungo adalah suatu desa di Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak.
Menurut buku sejarah yang diterbitkan
pemerintah Desa Bungo pada tahun 2012, bahwa kata “Bungo” berasal dari kata
majmuk “mambu lengo”, artinya berbau minyak (yang harum), versi lainnya
mengatakan “bungaho”, artinya: bergembiralah.
Pola ini seperti kebanyakan pola orang Jawa
yang suka menyesuaikan unsur fonetik dalam legenda penyusunan sejarah.
Sampai saat ini, belum ada penelitian sejarah
tentang sejarah Desa Bungo, namun penduduk tetap percaya kebenaran cerita itu.
Menurut catatan De Graaf dalam bukunya: “De
Eerste Moslimse Voorstendommen op Java”, bahwa sampai abad ke-16, Gunung Muria
belum bersatu dengan Pulau Jawa, keduanya terpisah oleh selat Muria (nama
lainnya: selat Juwana atau selat Silugangga).
Pada masa Kesultanan Demak, letak Kota Demak
berada di tepi laut dari selat itu. Kapal-kapal yang berlayar dari Semarang
menuju Rembang tentu melewati kota ini.
Akibat proses sedimentasi (pengendapan
lumpur), maka lumpur-lumpur dari Gunung Muria di utaranya dan dari Kali Tuntang
- Rawa Pening di selatannya dan Pegunungan Kapur di timurnya, maka selat itu
menjadi rawa-rawa yang dangkal dan kemudian menjadi daratan seperti sekarang
ini.
Desa Bungo, seperti desa-desa lain di wilayah
Kabupaten Demak adalah terbentuk dari proses sedimentasi seperti ini. Bukti
nyata dari sedimentasi itu adalah ketika penduduk menggali sumur-sumur maka
mereka mendapati ada kulit-kulit kerang di kedalaman 3 s.d. 5 meter.
Sampai sekarang masih terdapat rawa-rawa di
sebelah barat laut Desa Bungo yang berbatasan dengan Desa babalan, namanya Rawa
Mraseh, dan dari gambar di atas dapat kita simpulkan bahwa sedimentasi di desa
Bungo adalah sedimentasi terakhir dari desa-desa lainnya.
Penduduk mengakui bahwa mereka adalah
keturunan Mbah Panji Kusuma, seorang laki-laki pendatang dari Kediri, Jawa
Timur, namun tak ada catatan mengenai kapan peristiwa itu terjadi.
Dia membuka lahan di sini untuk kehidupan barunya
bersama anak dan istrinya, dan kemudian beranak pinak sampai seperti sekarang
ini.
Dalam rapat penyusunan sejarah Desa Bungo di
Masjid Jami’ Syuhada’ pada bulan Maret 2012, ada seorang ahli sejarah Bungo
yang mengatakan bahwa Mbah Panji Kusuma adalah murid Sunan Kalijaga, dan ahli
lainnya mengatakan peristiwa perang antara Desa Bungo dengan Desa Mutih itu
bersamaan dengan masa Ratu Kalinyamat dari Jepara, dan Ratu Kalinyamat wafat
pada tahun 1579 M.
Dan dalam buku sejarah itu diceritakan bahwa
ketika itu desa ini masih dipenuhi dengan rawa-rawa dan sungai-sungai. Maka
dari kejadian-kejadian itu saya menyimpulkan sejarah Desa Bungo diawali sejak
akhir abad ke-16.
Geografi
Desa ini terletak pada titik koordinat: 6,53*
LS – 110,41* BT. Garis lintang selatannya hampir sejajar dengan Kota Kudus dan
garis bujur timurnya hampir sejajar dengan Kota Jepara.
Desa ini terletak tepat di tengah-tengah
Kecamatan Wedung, merupakan salah satu desa di antara 20 desa di kecamatan
Wedung. Letaknya sangat strategis untuk lalu-lintas penduduk antar desa.
Batas-batas desa:
Utara: Desa Mutih Wetan dan Babalan
Selatan: Desa Buko dan Berahan Wetan
Timur: Desa Jungpasir, Jetak dan Tempel
Barat: Desa Berahan Wetan.
Luas wilayahnya: 796 Ha, dari itu 90% adalah
lahan pertanian dan 10% adalah pemukiman penduduk. Secara administratif, desa
ini dibagi menjadi 8 RW dan dibagi lagi menjadi 33 RT. Sungai Wulan yang
melewati desa ini membaginya menjadi dua teritori: Bungo Selatan dan Bungo Utara.
Secara demografis, penduduk membagi pemukiman
menjadi 5 blok, a.l: Kauman, Seberang Tengah (Brang Tengah), seberang barat
(Brang Kulon), seberang Timur (Brang wetan), dan Seberang Utara (Brang Lor).
Ketinggian rata-rata adalah: 0-2 meter di atas
permukaan laut (tidak termasuk tanggul).
Menurut Buku Laporan Pemerintah Desa Bungo,
tahun 2013, bahwa jumlah penduduk sebanyak 7.049 jiwa, terdiri dari 3.606
laki-laki dan 3.443 perempuan.
Curah hujan mencapai 2.000-3.000 mm, dan suhu
udaranya berkisar 23* C – 33*C.
Pemerintahan
Seperti kebanyakan desa-desa di Indonesia,
desa ini dipimpin oleh kepala desa dengan masa jabatan 6 tahun (Peraturan
daerah Kab. Demak, No 2, Tahun 2007).
Daftar kepala desa Bungo:
- Wongso
- Sarjan
- Wongso
- Sarjan
-
H. Baidlowi (1942-1945)
-
Delimo
-
Mas'ud
-
Soeyitno (1973-1989) 2 periode
-
Abdul Rosyid (1989-1998)
-
Maskomar (1999-2000)
-
(Pjs) Suratin (2000-2002)
-
Khoirul Anam (2002-2009)
-
Imam Wahyudi (2009-sekarang)
Kepala desa dibantu oleh sekretaris desa, seorang
kepala dusun Bungo Utara dan beberapa kepala urusan (Kaur), dan total jumlah
perangkat desa adalah 12 orang.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai
peran strategis dalam membuat
kebijakan-kebijakan desa bersama dengan kepala desa, di antaranya
mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa, sedangkan tugas
rutin BPD adalah membuat, mengesahkan dan merubah Rencana Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa (RAPBDesa). Jumlah anggota BPD terdiri dari 11 orang.
Dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD)
yang mempunyai tugas melaksanakan proyek-proyek pembangunan desa. Jumlah
anggota LKMD sebanyak 10 orang.
Ekonomi
Mata pencaharian utama penduduk desa adalah
petani padi dan nelayan dan sebagian kecil dari mereka berusaha di bidang
perdagangan dan jasa. Sebagian dari mereka menjalankan pertanian dan usaha
lainnya dengan kombinasi.
Dan para wanita sangat aktif membantu kerja
suaminya dalam mencari penghidupan.
Pertanian padi semakin menarik bagi penduduk
karena sistem irigasi yang makin baik dan harga gabah yang sangat stabil,
karena dijaga oleh pemerintah.
Pada tahun 2013, hasil panen seluruh
petani pada dua musim mencapai nilai Rp 10 miliar.
Blok Sekoco,ladang padi yang sangat subur, namun harganya makin tak terjangkau oleh petani penyewa. |
Selama lebih dari satu dekade, hasil tangkapan
ikannya nelayan menurun secara signifikan, dan dari kesulitan itu menjadikan
mereka makin cenderung ke pertanian.
Peternakan ayam kampung dan kambing banyak
dilakukan oleh penduduk, namun semuanya dilakukan untuk sampingan. Di sini
terdapat pula rumah untuk sarang burung walet.
Industri petasan yang sangat terkenal dari desa ini terus merosot
akibat razia-razia yang dilakukan oleh polisi.
Dan di desa ini terdapat pula beberapa
industri kreatif, a.l: mobil-mobilan, boneka dan makanan ringan.
Pendidikan
Desa ini sangat kaya akan adanya lembaga
pendidikan, a.l: ada 4 SD/ MI, 2 SMP/ MTs, dan 2 SMA. Terdapat pula 3 TK dan 1
PAUD.
Yayasan Pendidikan Islam Roudlotut Tholibin telah berdiri sejak 26 tahun yang lalu, ikut andil dalam mencerdaskan ummat |
Menurut Laporan Pemerintah Desa Bungo, Tahun 2013, hampir semua penduduk beragama
Islam, kecuali seorang wanita yang beragama Kristen.
Di sini terdapat 2 masjid jami’ dan 10 masjid/
musalla lainnya.
Banyak kaum muslim yang menjadi penggerak
organisasi-organisasi Islam, dan beberapa tokoh berusaha untuk mendirikan
pondok pesantren.
Penduduk Desa Bungo sangat bangga akan "kemajuan" desanya dibanding dengan desa-desa yang lainnya, namun kemajuan itu hanya ada pada sekedar keramaian lalu lintas desanya dan sekularisme penduduknya.
Kemajuan sejati itu ada pada kualitas hidup penduduknya, meliputi segi lahiriah dan batiniah.
Penduduk Desa Bungo sangat bangga akan "kemajuan" desanya dibanding dengan desa-desa yang lainnya, namun kemajuan itu hanya ada pada sekedar keramaian lalu lintas desanya dan sekularisme penduduknya.
Kemajuan sejati itu ada pada kualitas hidup penduduknya, meliputi segi lahiriah dan batiniah.